RS PKU Jogja

Sebagai salah satu area pelayanan publik (masyarakat umum), rumah sakit diharapkan mampu memberikan pelayanan yang baik bagi penyandang disabilitas (para difabel). Permasalahan yang umum, sebagaimana juga area layanan publik lain, belum banyak rumah sakit yang ‘ramah’ terhadap penyandang disabilitas.

Keterjangkauan, merupakan suatu hal yang mutlak dipenuhi ketika kita berbicara tentang bagaimana seorang penyandang disabilitas memerlukan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Oleh karena beragamnya jenis disabilitas, pendekatan keterjangkauan bagi kelompok disabilitas yang berbeda akan berbeda pula.

Misalnya saja, penyandang disabilitas tuli, sebagaimana mereka lebih sedang disebut dibandingkan dengan tuna rungu-wicara, memerlukan sistem penunjang keterjangkauan yang lebih kompleks, karena keterbatasan mereka di dalam hal mendengar dan berkomunikasi secara verbal (bahasa). Ini akan menjadi penghalang besar dalam memberikan pelayanan seperti pendaftaran sebagai pasien, komunikasi dengan petugas kesehatan, hingga dalam menunggu antrean pelayanan.

Penyandang disabilitas tuli mungkin terbantu dengan menggunakan “sign language” mereka selama ada pihak penerjemah. Sayangnya tidak semua penyandang disabilitas tuli memahami “sign language” dan tidak semua rumah sakit memiliki kemampuan menyediakan sumber daya manusia sebagai penerjemah “sign language”.

Selain masalah komunikasi antar personal, penyandang disabilitas tuli akan menemui masalah dengan sistem informasi di rumah sakit, terutama yang memanfaatkan sistem komunikasi suara/verbal, misalnya pengumuman memanggil saat mengantre. Salah satu hal yang bisa membantu mereka adalah bantuan visual, misalnya sejenis “running text” atau “information screen” yang terangkai dengan sistem informasi rumah sakit.

Penyandang disabilitas visual/netra, biasanya lebih mengalami kendala pada perpindahan dari satu area ke area lain di rumah sakit.Secara umum alat bantu bagi penyandang disabilitas netra dalam berpindah secara mandiri adalah tongkat dan “guiding tile/block”. Penggunaan tongkat bisa dianggap wajar di manapun, namun penempatan “guiding tile/block” tidak serta merta bisa diaplikasikan di wilayah rumah sakit sebagaimana penerapannya di area publik lainnya. Walau “guiding tile/block” bisa membantu, namun di sisi lain ada kekhawatiran akan bisa meningkatkan risiko “healthcare acquired infections” di rumah sakit.

Demikian juga dengan penyandang disabilitas daksa, mereka akan menemukan halangan dalam berpindah, baik dari satu titik ke titik lainnya dalam satu area, maupun dari satu area ke area lainnya – apalagi jika area tujuan cukup jauh.

Sistem kesehatan kita belum cukup dewasa dalam menampung seluruh kebutuhan penyandang disabilitas untuk bisa mengaksesnya dengan baik. Indonesia masih memerlukan waktu yang cukup panjang untuk dapat sampai pada masa di mana penyandang disabilitas dapat secara mandiri mengakses pelbagai pelayanan publik, termasuk rumah sakit secara merata di tanah air.(INF sbr cahaya)

Leave feedback about this

  • Rating